Mempunyai saudara kembar ? O, kedengarannya sungguh menyenangkan. Maklum, sewaktu masih kecil saya memang pernah berangan-angan terlahir sebagai anak kembar. Apalagi, kedua adik kandung saya juga kembar, walau mereka meninggal saat dilahirkan. Dulu, teman sekolah saya pun ada yang kembar, dan mereka terlihat sangat kompak. Tapi, ya, cuma sebatas itu saja. Beranjak dewasa, angan-angan itu pupus dan hilang begitu saja.
Sampai sekitar empat tahun lalu, tanpa diduga, tiba-tiba saja saya mempunyai ‘saudara kembar’. Waktu itu saya bekerja sebagai penyiar sebuah radio di
Bahkan, menurut Pak Suad, ketika beradu mata, ‘saya’ sempat tersenyum kepadanya sebelum menuju ke belakang, ke ruang pemancar, dan menghidupkannya. Pak Suad sendiri sempat heran, karena seharusnya pemancar baru diaktifkan lagi pada pukul
Setelah ditunggu-tunggu hingga pukul tiga, ternyata tak juga ada siaran. Karenanya, Pak Suad langsung mencari ‘saya’ ke ruang siaran. Ternyata ruangan itu kosong melompong, tapi peralatan dalam kondisi on, siap untuk on air. Pak Suad membuka pintu semua ruangan dan, dan menemukan saya nyenyak tidur tertelungkup di meja kerja, masih berpakaian lengkap. Tak ada orang lain di studio. Lalu, siapa dong, yang menghidupkan semua peralatan di ruang siaran ?
Bukan Cuma Pak Suad yang pernah melihat ‘saudara kembar’ saya itu. Seorang kolega saya, Lenny, juga pernah ‘ketemu’. Ceritanya, suatu hari dia sedang mengisi draft rencana siaran ketika mendengar langkah kaki dan suara saya. Ketika suara langkah itu mendekat, terdengar ‘saya’ menyapa Lenny, “Haaaiii..” itu memang sapaan khas saya. Lenny bahkan sempat membalas sapaan itu, meski tanpa menengok, soalnya saat itu ia sedang sibuk menyusun daftar lagu. Cuma mendengar suara langkah menuju kamar mandi, lalu suara cebar-cebur air seperti ada orang yang sedang mandi.
Beberapa saat kemudian barulah Lenny tersadar. Soalnya, dia ingat betul kalau hari itu saya sedang ada urusan di Purwokerto. Penasaran, dia menyusul ‘saya’ ke belakang. Didapatinya kamar mandi itu memang basah, seperti habis dipakai seseorang. Padahal, di Minggu sore selepas maghrib itu tak ada petugas lain di studio selain Lenny dan seorang penyiar lain yang sedang on air. Lalu siapa, dong, yang cebar-cebur di kamar mandi itu ?
Ketika pindah kerja ke suatu stasiun radio di Jakarta, saya pikir kejadian seperti itu tak bakal terulang lagi. Ternyata saya salah duga. Suatu saat, ketika saya sedang siaran, tiba-tiba rekan saya, Mas Herry, naik ke ruang siaran dan bertanya pada saya : ada apa saya memanggilnya. Saya terkejut dan heran. Lho, kapan saya memanggilnya ?
Tapi Mas Herry ngotot mengatakan bahwa saya baru saja turun, memanggilnya, lalu berlari lagi ke ruang siaran. Tentu saja saya juga ngotot, karena tak merasa memanggilnya. Untunglah Mas Herry segera ingat bahwa ‘saya’ yang barusan memanggilnya memakai T-shirt hitam, sementara saya yang sedang siaran memakai T-shirt putih. Nah, loh ?
Ika, kolega saya yang lain, juga sempat mengalami hal serupa. Jumat sore itu dia ngotot bilang bahwa dia melihat ‘saya’ masuk ke studio lalu berjalan ke belakang, ke kamar istirahat penyiar. Beberapa saat kemudian dia mencari saya, dan melihat ‘saya’ sedang tidur pulas di ruang istirahat itu. tapi, tak lebih dari lima menit kemudian, tiba-tiba dia melihat saya turun dari angkutan kota. Ika kaget. Dia baru tersadar bahwa tiap Jumat sore saya pasti tak ada di studio, karena harus kuliah hingga pukul 8 malam. Lantas, yang sedang tidur pulas itu siapa, dong ?
Lain lagi dengan Micky, rekan saya yang lain. Suatu sore dia baru saja membeli sebungkus nasi Padang. Ketika ke dapur mengambil piring, dia melihat ‘saya’ sedang di dapur. Katanya ‘saya’ sempat mengajaknya ngobrol. Ketika masuk ke ruang kantor, Micky langsung pucat ketika melihat saya ternyata saya sedang asyik menerima telepon di ruang marketing.
Cerita-cerita teman atau kenalan tentang pertemuan mereka dengan ‘saya’ itu, terus terang membuat say ngeri. Ketika suatu saat saya berkesempatan mewawancarai seorang paranormal, saya sempatkan untuk curhat tentang hal ini. Jawaban sang paranormal lumayan menenangkan hati. Dia bilang, saya tak usah takut karena ‘saudara kembar’ saya itu memang selalu mengikuti kemanapun saya pergi. Ibaratnya, dia itu menjadi pelindung saya, begitu katanya.
Satu ketika, saya pun sempat berkenalan dengan seseorang yang ternyata punya the sixth sense untuk melihat the invisible man itu. menurut dia, saya memang selalu diikuti oleh sosok yang mirip saya, memakai pakaian saya walau tak selalu sama dengan pakaian yang sedang saya kenakan hari itu. bahkan, katanya lagi, yang mengikuti saya itu bukan cuma satu orang, karena ketika suatu kali dia masuk ke kamar saya, dia menemukan LIMA orang ‘saudara kembar’ saya. Uniknya, mereka semua identik dengan saya, walau ada seorang yang berambut gondrong dan seorang lagi berambut cepak.
Hiii…! Antara percaya dan tidak, saya cuma senyum-senyum mendengar uraian itu. Sampai suatu hari, saya jalan-jalan ke Pasarsenen. Sudah beratus kali saya mengunjungi kawasan pertokoan ramai yang terletak di jantung kota Jakarta itu, dan selalu aman-aman saja. Tapi, sekali itu, di tengah keramaian, mendadak saya dikeroyok oleh sejumlah orang. Tas dan dompet saya dirampas, sementara orang-orang cuma menonton adegan itu tanpa ada yang berani menolong.
Karena kesal, saya lantas menemui teman saya itu untuk protes. “Kalau memang saya dilindungi oleh para ‘saudara kembar’ saya itu, kenapa tak seorangpun melindungi saya saat saya dijambret di Pasarsenen ?”
Apa reaksi teman saya…? Dia cuma senyum-senyum. Lalu dengan gaya yakin dia berkata, “Rambut kamu itu penyebabnya. Saudara-saudara kembarmu tak bisa mengenali kamu, karena rambut kamu dicat warna oranye !”
Astaga..! Waduh…! Ya, ampun..!
Meski sampai sekarang saya masih ragu tentang kehadiran para ‘saudara kembar’ saya itu, tetap saja ada teman atau kenalan yang melapor bahwa mereka baru saja ketemu ‘saya’ di suatu tempat, sementara saya yang sebenarnya ada di tempat lain. Dan, bisa saja suatu saat saya sendiri yang ketemu langsung dengan ‘saudara kembar’ saya itu!
Tapi, hiii… jangan, ah! Terus terang, tiba-tiba saya jadi… merinding!
*artikel ini pernah dimuat di rubrik Gado-Gado, Majalah Femina No.04/XXIX 25-31 Januari 2001, based on my true story
Apalagi kalo kelima limanya hobby ngumpulin kaset bekas. Mungkin kaset bekas se-Indonesia bakal ludes..
BalasHapuswah good idea.. harusnya gue karyakan aja mereka buat hunting ya hahaha
BalasHapus