Kamis, 10 Juli 2008

Hari ini, sepuluh tahun lalu..

“Aku di PHK”

Katamu lirih sambil menyembunyikan genangan air yang mulai mengembang dimatamu. Kugenggam tanganmu, berusaha mengalirkan kekuatan dari sana. Sungguh, aku tak tahu bagaimana cara menghiburmu saat itu. Pekerjaan itu adalah nyawa bagimu. Kamu mencintainya mungkin melebihi cintamu padaku, karena demi kerja kamu sering rela mengabaikan aku. Aku tahu bagaimana rasanya dihempaskan secara paksa dari sesuatu yang sangat kita cintai.

“Sabar Ta.. nanti aku bantu kamu nyari kerja lagi.”

Kata-kata itu akhirnya yang keluar dari mulutku. Sebuah basa-basi yang basi kupikir. Saat itu, 1998, boro-boro kantor nyari karyawan baru. Yang ada malah berusaha seefisien mungkin dengan cara mem-PHK karyawan lama. Dan kamu sendiri sudah merasakan dampak itu. Tapi jawabanku itu membuat kamu tersenyum tipis diantara butiran air yang mengalir dipipimu, yang tidak bisa kamu sembunyikan lagi.

”Makasih... aku tahu kamu pasti bantuin aku”

Kamu kembali tersenyum tipis diantara tangis. Lalu kuseka airmatamu dengan ibu jariku. Ya. Aku pasti akan melakukan apapun sebisaku untuk kamu. Karena bagiku kamu adalah separuh nyawaku. Dan kita berdua, cuma berdua, sejauh ini sudah terpisah jauh dari tanah kelahiran kita. Terpisah jauh dari keluarga yang tidak merestui kebersamaan kita, keluargamu tentu saja karena keluargaku sudah sangat menerima kamu. Selama ini kita bahagia dalam ketidakpastian, tersenyum dalam ketersembunyian. Jadi apapun akan kulakukan untuk kamu. Karena dikota ini tidak ada lagi yang kamu punya selain aku.

”Tapi..”

Kalimatmu tertahan.   

”Tapi kenapa ??”

Kamu tidak segera menjawab. Matamu kosong menerawang, memandang sesuatu yang entah apa diluar jendela. Kugenggam lagi tanganmu, dan kamu menghela napas. Matamu kembali menggenang.

”Aku gak bisa lagi di Jakarta Mas.. aku harus balik.. Tadi pas aku telpon rumah ngabarin aku di PHK, Papa langsung nyuruh aku pulang. Papa malam ini juga mau berangkat ke Jakarta. Jadi besok aku langsung balik sama Papa”

Semuanya tiba-tiba terasa senyap. Lalu lalang orang terlihat seperti gerakan slow motion yang melelahkan. Tidak ada yang bisa kudengar di telinga selain tangis hatiku sendiri yang tiba-tiba meraung-raung. Kamulah alasan utama kenapa aku ada di kota yang kejam ini. Karena kamulah aku berusaha sekuat tenaga menaklukkan Jakarta. Lalu mendadak kamu akan meninggalkan aku tanpa sempat memberiku kesempatan berpikir. Shock teraphy yang hebat.

”Jadi besok kamu udah..”

Kalimatku tak selesai. Menggantung di udara. Dan kamu juga tidak menjawab. Memang sebuah pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban. Lalu kita sama-sama terdiam. Sebuah acara yang hambar untuk momen yang begitu penting : kebersamaan terakhir. Ya... bukankah kamu besok akan pergi.. dan untuk segala seuatu yang berhubungan dengan Papamu aku pasti tidak akan bisa terlibat. Kalau aku nekat mengantarmu ke stasiun besok, aku takut Papamu murka. Beliau tidak tahu kalau aku selama ini juga di Jakarta bersamamu. Dan murkanya Papamu akan berimbas kepadamu. Aku tidak mau tubuhmu lebam oleh sabetan ikat pinggang seperti saat itu.

Jadi begitu saja. Sampai kita berpisah di depan pagar kosmu aku merasa separuh nyawaku hilang. Kamu benar-benar pergi meninggalkan setumpuk mimpi yang sudah mulai kurajut. PHK itu memisahkan kita. Jakarta yang kejam semakin terasa kejam ditengah krisis moneter yang tidak berkesudahan.

Tidak ada kabar darimu sejak kamu pulang.

Kutelepon ke rumahmu selalu keluargamu yang angkat dan sudah pasti langsung kumatikan.

Kamu tidak pernah meneleponku.

Aku mau mati saja rasanya.

Lalu sebuah surat datang untukku. Dari kamu. Tidak terkira bahagianya aku. Kamu cerita tentang hari-harimu di kampung halaman. Permintaan maafmu untuk begitu lamanya tidak pernah memberiku kabar.

Tapi kamu tidak bicara soal kangen. Satu hal yang sudah membuatku nyaris mampus. Apa kamu tidak kangen ?

Lalu di halaman terakhir surat tiga lembarmu itu... dibawah tanda tangan simpel yang sudah sangat kuhapal itu, tertulis namamu dengan tambahan nama laki-laki yang bukan nama Papamu.

Hatiku tertusuk. Dan firasat buruk menyergapku. Ribuan pertanyaan menggema didadaku sendiri tentang nama itu.

Kutelepon rumahmu. Papamu yang angkat dan langsung kumatikan. Lalu kutulis surat balasan. Isinya singkat, mempertanyakan siapa laki-laki yang namanya tertulis dibelakang namamu. Kukirim kilat khusus.

Tiga hari dalam penantian. Seminggu... sepuluh hari... datanglah balasanmu. Aku sudah siap dengan apapun kenyataannya. Tapi suratmu membuatku limbung. Tulisanmu membuat harga diriku runtuh. Suratmu singkat tapi menusuk tepat di ulu hati..

”Dia pacarku Mas.. anak Jakarta juga. Dan dia yang nganterin aku pas pulang kemaren sama Papa. Maafin aku Mas selama ini udah ngeduain kamu. Tapi aku memang capek backstreet Mas... abis lebaran kami rencananya mau tunangan.. buat aku yang penting Papa dan keluargaku setuju. Sekali lagi maafin aku”

11 komentar:

  1. ini cerita nyata ato..............

    BalasHapus
  2. PHK = Putus Hungan Kaset apa Kekasih neeeh :P

    BalasHapus
  3. nyata mbak wi.. tadi itu aku lewat 'tempat bersejarah' dan jadi inget kalo hari ini adalah tanggal bersejarah juga :(

    BalasHapus
  4. hihihi.. jaman itu belum mikirin kaset kali hahaha

    BalasHapus
  5. masa 10 tahun yg lalu belom mikir kaset , nggaaaak percayaaaaaaaaa :P

    BalasHapus
  6. hahahaha... kisah ini udah lama terlupakan koq mbak. cuma tadi ndilalah koq jadi keingetan pas lewat tempat itu hahaha... pas pula tanggal hari ini

    BalasHapus
  7. di tulis yang bagus mas, terus kirim ke Gadis, mesti dimuat

    BalasHapus
  8. hahaha... masa kirimnya ke gadis.. terlalu dewasa ah ceritanya hihihi..

    BalasHapus